Fenomena Berburu Spot Foto Estetis di Pameran Seni

Pihak Biennale Jogja melanjutkan, “Pada akhirnya ini bukan lagi melihat dampak positif negatif minat pameran, tapi lebih bagaimana melihat hal tersebut sebagai aktivitas yang normal. Pameran seni dihadirkan juga secara normal sebagai aktivitas umum. Dua arah jadinya, tidak hanya minat, namun posisi pameran seni di ranah umum.”

Ketika berbicara selera audiens, mereka mengaku tidak pernah bisa melepaskannya dari fenomena fotografi. “Publik mencari objek yang indah untuk foto, dan pameran seni termasuk di dalamnya,” sebutnya.

“Melihat motifnya, audiens suka karya yang bisa direspons, ukuran tidak terlalu kecil, dan berwarna nyentrik,” kata mereka. “Biennale tidak langsung beradaptasi bahwa pameran harus seperti itu, tapi menyisipkan (faktor) kesukaan audiens di pameran kami, tanpa melepaskan idealisme untuk terus memberi kebaruan, baik wacana maupun visual.”

Mereka menegaskan bahwa selera audiens penting, tapi tidak jadi pertimbangan tunggal. “Kami meresponsnya dengan ‘berdiri di tengah.’ Jadi, mempertahankan apa yang common, tapi tidak menghilangkan autentisitas Biennale sepenuhnya,” ujar mereka.

Sementara itu, Djani mengatakan, Museum MACAN melihat pameran seni sekarang sangat beragam, mulai dari segi tema, medium, seniman, hingga ruang pamer, dan setiap pameran memiliki audiensnya masing-masing. “Kami rasa keberagaman ini sangat baik untuk memperluas wawasan audiens,” imbuhnya.

“Sebagai institusi berupa museum, Museum MACAN berupaya menyuguhkan pameran seni berskala besar dari para perupa Indonesia dan internasional. Pameran-pameran ini dapat berupa pameran survei yang berfokus pada perjalanan karier artistik seorang perupa.”

Misalnya, pameran Agus Suwage: The Theater of Me (2022) dan Isabel and Alfredo Aquilizan: Somewhere, Elsewhere, Nowhere (2023).

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *