Lahan sempit seukuran bandara itu adalah tempat Israel ingin 2,3 juta warga sipil Gaza direlokasi. Namun, wilayah yang kecil dan belum berkembang ini tidak memiliki infrastruktur untuk keselamatan dan kelangsungan hidup. Disebut bahwa tidak ada air bersih untuk diminum dan tidak ada cukup bahan bakar untuk menghangatkan tubuh.
Lalu, di Rafah, selatan Gaza, keluarga-keluarga pengungsi Palestina berjuang mendapatkan makanan bagi bayi mereka yang baru lahir ketika bantuan kemanusiaan mengalir di tengah pemboman yang terus berlanjut. Barang-barang penting, seperti popok dan susu, jadi mahal, bahkan mustahil ditemukan. Air pun sulit didapat.
Seorang nenek dari bayi kembar mengatakan pada Al Jazeera bahwa tidak mungkin memandikan bayi yang kini berusia satu bulan. Kepala Pemantau Hak Asasi Manusia Euro-Med, Ramy Abdu, mengatakan kelompoknya akan merilis sebuah studi baru pada yang menunjukkan tingkat kelaparan yang mengerikan di Gaza.
Dalam unggahan X, dulunya Twitter, baru-baru ini, Abdu mengatakan bahwa 71 persen penduduk Gaza “menghadapi kelaparan parah, dengan 98 persen tidak cukupi mengonsumsi makanan. Sebanyak 64 persen memilih “mengonsumsi buah-buahan, makanan liar atau mentah, dan barang-barang kedaluwarsa untuk mengurangi kelaparan,” tambahnya.