Perang Arab-Israel pertama pecah pada 1948 setelah Israel mendeklarasikan status negara mereka, merebut sekitar 78 persen wilayah, dan sisa wilayah Tepi Barat, Yerusalem Timur, dan Gaza berada di bawah kendali Mesir dan Yordania. Peningkatan perambahan Israel atas tanah tersebut meningkat pada 1967, setelah perang Arab-Israel kedua, yang mengakibatkan pendudukan Israel atas Yerusalem Timur, dan akhirnya aneksasi ilegal Israel atas Yerusalem, termasuk Kota Tua dan al-Aqsa.
Penguasaan ilegal Israel atas Yerusalem Timur, termasuk Kota Tua, melanggar beberapa prinsip hukum internasional, yang menguraikan bahwa kekuatan pendudukan tidak memiliki kedaulatan atas wilayah yang didudukinya. Selama bertahun-tahun, pemerintah Israel telah mengambil langkah lebih lanjut untuk mengendalikan dan melakukan Yahudisasi terhadap Kota Tua dan Yerusalem Timur secara keseluruhan.
Pada 1980, Israel mengesahkan undang-undang yang menyatakan Yerusalem sebagai ibu kota Israel yang “lengkap dan bersatu”, yang melanggar hukum internasional. Saat ini, tidak ada negara di dunia yang mengakui kepemilikan Israel atas Yerusalem atau upaya Israel untuk mengubah geografi dan demografi kota tersebut.
Warga Palestina di Yerusalem, yang berjumlah sekitar 400.000 jiwa, hanya memiliki status tinggal permanen, bukan kewarganegaraan, meskipun mereka lahir di sana, berbeda dengan orang Yahudi yang lahir di kota tersebut.
Sejak 1967, Israel telah memulai deportasi diam-diam terhadap warga Palestina di kota tersebut dengan menerapkan kondisi yang sulit bagi mereka untuk mempertahankan status kependudukan mereka. Israel juga telah membangun setidaknya 12 pemukiman ilegal khusus Yahudi di Yerusalem Timur, menampung sekitar 200.000 warga Israel, sementara menolak izin bangunan Palestina dan menghancurkan rumah mereka sebagai hukuman karena membangun secara ilegal.