“Dalam situasi seperti ini,” lanjutnya, “perempuan di Pulau Pari menghadapi beban ganda. Kami harus bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari kami.”
Asmania menjelaskan bahwa mereka telah berupaya untuk menyampaikan masalah ini kepada berbagai pihak yang relevan, termasuk Dinas Cipta Karya, Tata Ruang, dan Pertanahan Provinsi DKI Jakarta, serta KLHK. Namun, sayangnya, upaya-upaya ini belum menghasilkan perubahan yang positif. Hal ini membuatnya menduga bahwa pemerintah cenderung mendukung korporasi-korporasi yang mendorong reklamasi.
Lebih lanjut, Asmania menceritakan bagaimana perusahaan-perusahaan tersebut memberikan tekanan kepada warga Pulau Pari. Bahkan, menurutnya, tekanan ini dilakukan dengan cara yang tidak pantas, terutama di Indonesia yang telah merdeka selama 78 tahun.
“Perusahaan-perusahaan ini seperti menggunakan taktik adu domba,” kata Asmania. “Mereka mencoba memecah belah warga Pulau Pari dari berbagai wilayah. Banyak teman kami yang direkrut menjadi petugas keamanan, dipekerjakan oleh perusahaan. Akibatnya, banyak di antara kami yang tidak lagi sejalan dalam perjuangan kami,” ujarnya sambil berusaha menahan tangis.
Namun, Asmania menegaskan bahwa warga Pulau Pari tetap akan berjuang untuk bertahan di tanah kelahiran mereka, dengan tekun terus menanam mangrove. “Kami percaya bahwa dengan menanam mangrove, kami melancarkan bentuk perlawanan kami. Kami tidak akan menjadi budak di tanah air kami sendiri,” tegasnya.